Iklan Melayang

Syarat Bahagia Itu, Nol

(zero, unsplash.com)

Entah kenapa saya ingin menulis tentang ini, bahagia dan syukur. Mungkin karena saya baru saja membaca gratitude, sebuah buku kompilasi yang dihimpun menjadi sebuah buku oleh tim Greatmind. Atau barangkali karena saya memang ingin saja melakukannya. Mengingat bahagia adalah satu hal yang selalu orang-orang cari, termasuk saya. Dan syukur adalah satu hal yang sering dilupakan, meskipun kita patut untuk itu.


Pada paragraf di atas saya menyebut bahwa bahagia adalah satu hal yang orang-orang cari, termasuk saya. Sebuah pernyataan yang sebetulnya keliru. Ya, mengejar kebahagiaan adalah satu hal yang keliru. Saya yang mengejar kebahagiaan juga keliru.

Saya jadi teringat dengan guru saya. Waktu itu kami sedang ngobrol santai di malam hari. Beliau bertanya tentang apa yang membuat saya bahagia, apa yang ingin saya capai, dan perihal hidup lainnya. Setelah saya menjawab dengan panjang lebar, dan setelah saya menjelaskan dengan polos mengenai apa yang membuat saya bahagia, beliau mengucapkan empat kata yang tidak akan pernah saya lupakan. Beliau bilang, “syarat bahagia itu, nol.”. Sambil tersenyun dan betul-betul membuat angka nol di kertas.

Bayangin, gimana “tertamparnya” ketika kamu menjabarkan apa-apa yang membuatmu bahagia, ketika kamu bilang jika begini maka saya akan bahagia, jika begitu maka saya akan bahagia, dan seterusnya. Lalu lawan bicara kamu dengan santai menjawab,”syarat bahagia itu, nol.”

Dulu saya belum mengerti apa yang coba guru saya sampaikan. Saya menganggapnya sebagai angin lalu saja. Tapi seiring waktu berlalu, dan melalui perenungan, saya mulai bisa merasakan apa yang sebetulnya beliau ingin sampaikan. Beberapa hal memang perlu semacam inkubasi untuk kita mampu memahaminya.

Saat ini, saya mengamini perkataan guru saya tersebut. Syarat bahagia itu memang nol. Tidak ada syarat untuk bahagia. Bahagia itu berasal dari dalam. Jika kita menggantungkan kebahagiaan ke hal-hal di luar diri kita, maka kita telah mempersulit diri sendiri.

Keliru, jika kita berpikir kita baru bahagia jika telah mendapatkan apa yang kita inginkan. Padahal, setelah mendapatkan apa yang kita inginkan, tidak butuh waktu lama bagi kita untuk menginginkan hal yang lain, yang lebih, yang baru. Ini adalah pengejaran tak berujung. Kalau begini, kapan kita bahagia?

Selama ini kita bersyukur untuk hal-hal yang sudah kita dapatkan. Tapi sadarkah kita bahwa kita juga perlu bersyukur untuk hal-hal yang belum kita dapatkan? Selama ini kita berpikir bahwa untuk bersyukur kita harus bahagia dulu, tapi sadarkah kita bahwa rasa syukur adalah obat dari ketidakbahagiaan itu sendiri?

Bukan karena bahagia lalu bersyukur. Tapi bersyukurlah maka kamu bahagia.

Sepertinya, bahagia itu memang untuk orang-orang yang berani merasa cukup dengan hidup yang sebagaimana adanya. Tidak terjebak dengan pengejaran semu yang tidak ada habisnya.

Lagi pula, tidak ada jalan untuk bahagia. Bahagia adalah jalan itu sendiri. Seperti kamu yang mendaki gunung, tidak ada bahagia di puncak sana. Yang ada adalah proses perjuangan mendaki dan keheningan yang cukup mengisi hatimu sebagai manusia. Bahagia itu adalah jalan itu sendiri.

Jadi, apa syarat bahagia? Nol.

2 comments for "Syarat Bahagia Itu, Nol"

Seedbacklink